Candi Prambanan dan misteri Roro Jongrang – Bandung Bondowoso
(1).Candi Prambanan
Candi Prambanan dibangun oleh Dinasti Sanjaya di abad ke-9, tepatnya
selesai dibangun pada tahun 825 M. Candi yang mempunyai tinggi 47 meter
ini terletak kurang lebih 17 kilometer dari Yogyakarta. Kita bisa dengan
mudah melihatnya, karena letak candi ini hanya 100 meter dari jalan
utama.
Candi Prambanan terdiri atas 3 kompleks bangunan. Candi utama
memiliki 3 tempat pemujaan (altar) yang didedikasikan untuk Dewa
Trimurti. Candi Syiwa terletak di tengah, Wisnu di sebelah selatan, dan
Candi Brahma di sebelah utara.
Disebut Candi Syiwa, karena di dalam bilik candi utamanya terdapat
patung Dewa Syiwa (Dewa Perusak). Demikian pula pada Candi Brahma dan
Wisnu, dimana di masing-masing candi terdapat patung Dewa Brahma (Dewa
Penjaga) dan Dewa Wisnu (Dewa Pencipta). Ketiganya menghadap ke arah
timur.
Di depan setiap candi berdiri candi-candi lain yang lebih kecil, yang
disebut dengan Candi Wahana, yang masing-masing menghadap ke arah
barat. Dinamakan Candi Wahana karena di dalam bilik candi-candi ini
terdapat patung binatang yang biasa dipakai sebagai tunggangan/
kendaraan atau wahana dari dewa-dewa tersebut. Lembu Nandi adalah
tunggangan Syiwa, burung Garuda tunggangan Wisnu, dan Angsa adalah
tunggangan Brahma.
Seperti Candi Borobudur yang kaya dengan reliefnya, Candi Prambanan
juga memilki relief yang dipahatkan di pagar langkan. Di Candi Syiwa dan
Candi Brahma terdapat relief cerita Ramayana, sedangkan di Candi Wisnu
terdapat relief cerita Kresnayana.
Apabila kita memasuki candi utama dari utara, maka kita akan
menemukan sebuah patung putri yang sangat cantik, Roro Jonggrang. Patung
ini berhubungan erat dengan kisah atau legenda yang dipercaya
masyarakat, yang melatarbelakangi berdirinya Candi Prambanan atau Candi
Roro Jonggrang
(2).Roro Jongrang – Bandung Bondowoso
Menurut legenda, Roro Jonggrang adalah puteri dari Raja Boko yang
berkuasa di daerah Prambanan. Kecantikan dan keanggunan Roro Jonggrang
membuat seorang pria dari daerah Pengging yang bernama Bandung Bondowoso
ingin memperistrinya. Tapi sebenarnya, Roro Jonggrang tidak mencintai
Bandung Bondowoso. Sebagai strategi menolak pinangan tersebut, Roro
Jonggrang mengeluarkan syarat agar dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu
malam. Bandung Bondowoso pun menyanggupinya.
Sebelum melaksanakan pekerjaannya, dia bersemedi untuk mendapat
kekuatan dan bantuan dari para jin. Menjelang petang, pembangunan seribu
candi mulai dilaksanakan, dan menjelang matahari terbit, pembangunan
itu hampir selesai. Melihat hal ini, Roro Jonggrang pun cemas, dan
berusaha mencegah kerja tersebut. Roro Jonggrang kemudian memanggil
semua putri desa untuk membakar jerami dan memukul lesung (alat penumbuk
padi tradisional di Jawa), supaya terkesan hari menjelang fajar.
Jin-jin yang melihat hari telah menjelang fajar mulai meninggalkan
pekerjaannya. Setelah dihitung, ternyata pekerjaan yang tersisa hanyalah
sebuah arca.
Bandung Bondowoso pun mengetahui kecurangan Roro Jonggrang. Dengan
perasaan marah dan kecewa, ia mendatangi Roro Jonggrang. Tapi Roro
Jonggrang tetap bersikukuh minta digenapi menjadi 1000 candi. Hal ini
menimbulkan kemarahan Bandung Bondowoso. “Kurang satu, tambahnya kamu
sendiri”. Setelah Bandung Bondowoso mengeluarkan kata-kata itu, Roro
Jonggrang pun langsung berubah menjadi arca, untuk melengkapi sebuah
arca yang belum terselesaikan. Dan arca ini bisa kita lihat di bilik
sebelah utara candi utama.
(3).BANDUNG Bondowoso menyusun
batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam.
Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi
datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak
berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.
Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita kegagalan.
Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat
memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah
dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan
kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak
mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau
menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu
malam.
Bandung Bondowoso setuju. Kesanggupan
itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang
mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa tiap kemenangan
selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan
dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai,
dan ada yang minus dalam tiap takhta.
Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang
ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut
dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima
syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu.
Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan
memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke
angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh
dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca
kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir
tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan
diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat
itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil
membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup
membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu
mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam
posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui
batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di
luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia
berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak
memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.
”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan
berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang
ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya
yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi
fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat
para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan
Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya
melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama
setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang
bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum
dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang.
Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh
para pendekar, dan lahir penulis tragedi.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”
”Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut
yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang
dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam
adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya,
dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas
apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan
sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000
janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih
sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak
terhingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau
yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat
meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus
membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan
relief yang menakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”?
Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan
tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan
batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita
kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah
dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000
candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi
ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.
(4).Loro Jonggrang dan Bandung
Bondowoso erat kaitannya dengan candi Prambanan, dimana candi ini juga
memiliki nama lain yakni candi Loro Jonggang. Alkisah pada jaman dahulu
kala terdapatlah dua buah kerajaan Hindu yang ada di Pulau Jawa dan
terletak di dekat daerah yang sekarang bernama Prambanan.
Kerajaan itu adalah kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan
Pengging adalah kerajaan yang subur dan makmur yang dipimpin oleh raja
yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo dan memiliki seorang
putra laki – laki yang bernama Bandung Bondowoso. Sedangkan kerajaan
Pengging yang berada di wilayah kerajaan Pengging diperintah oleh
seseorang raja yang kejam, dan memiliki wujud bukan manusia tetapi
seorang raksasa yang suka makan daging manusia yang bernama Prabu Boko.
Meski berwujud raksasa, Prabu Boko memiliki seorang putri yang cantik
seperti bidadari yang bernama Putri Loro Jonggrang beliau memiliki
kecantikan bak seorang dewi dari kayangan. Dalam kerajaannya Prabu Boko
memiliki seorang patih yang bernama Patih Gupolo, beliau adalah seorang
yang sakti mandraguna.
Suatu kali Prabu Boko dan Patih Gupolo merencanakan untuk memberontak
kepada kerajaan Pengging dan dibuatlah rencana itu sematang – matangnya
dengan mengumpulkan perbekalan dari memeras rakyatnya serta melatih
pemuda di kerajaannya untuk menjadi prajurit.
Setelah wajtunya tiba, berangkatlah prabu Boko ke kerajaan Pengging
untuk berperang. Dan terjadilah peperangan yang dasyat antara prajurit
kedua kerajaan itu dan banyaklah korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Dan akhirnya banyak rakyat dari kerajaan Pengging yang menjadi
menderita dan kelaparan.
Karena sudah banyak rakyatnya yang menderita maka Prabu Damar Moyo
mengutus anaknya sendiri yakni Bandung Bondowoso untuk maju ke medan
pertempuran melawan prabu Boko dan terjadilah pertempuran yang sengit
antara dua orang tersebut dan akhirnya prabu Boko dapat dikalahkan.
Melihat rajanya tewas, patih Gupolo melarikan diri ke kerajaannya. Dan
melaporkan kematian tersebut ke putrid Loro Jonggrang.
Putri Loro Jonggrang begitu sedih mendengar ayahandanya yang sudah
meninggal. Bandung Bondowoso yang mengejar patih Gupolo akhirnya sampai
ke kraton Boko dan disana ia bertemu dengan putrid Loro Jonggrang. Alih –
alih ingin mencari patih Gupolo, Bandung Bondowoso akhirnya malah
tertarik dengan sang putri dan berniat untuk melamarnya untuk dijadikan
istri. Namun sang putri ingin menolak karena pemuda inilah yang membunuh
ayahandanya, maka ia membuat sebuah siasat untuk bisa membalas dendam
Sang putri loro Jonggrang meminta dua buah hal kepada Bandung
Bondowoso. Yang pertama adalah membuat sebuah sumur yang dalam. Dan
dengan kesaktiannya bandung Bondowoso membuat sebuah sumur yang dalam
yang ia beri nama sumur Jala Tunda. Dan ia segera memanggil sang putri
untuk melihat sumur yang sudah ia buat. Putri Loro Jonggrang menyuruh
Bandung Bondowoso untuk masuk kedalam sumur, dan setelah ia berada di
dalam bumur putri Loro Jonggrang beserta patih Gupolo menimbun sumur
tersebut dengan batu supaya Bandung Bondowoso mati. Namun ternyata
kesaktian Bandung Bondowoso memang luar biasa, ia bisa meloloskan diri
dari sumur itu dengan bersemedi.
Saat ia sudah selamat dari maut, ia langsung menuju ke istana Boko
dengan amarah yang meledak – ledak. Bandung Bondowoso murka Karen putri
Loro Jonggrang berusaha untuk membunuhnya. Namun dengan bujuk rayu yang
dibuat oleh Loro Jonggrang maka redalah amarah yang ada di dada Bandung
Bondowoso. Dan mulailah putri Loro jonggrang meminta janji yang kedua
kepada Bandung Bondowoso. Ia meminta untuk dibuatkan 1000 buah candi
dalam semalam yang diperkirakan akan gagal dilaksanakan olehnya. dan
Bandung Bondowoso setuju dengan permintaannya
Maka dibantu oleh ribuan jin pengerjaan candi tersebut dimulai,
menjelang tengah malam pembangunan sudah hampir selesai, dan loro
jonggrang yang ketakutan akhirnya membuat siasat dengan membakar jerami
sehingga pemandangan menjadi lebih terang sehingga berkokoklah ayam.
Akhirnya jin yang membantu pengerjaan candi tersebut akhirnya melarikan
diri, sedangkan candi yang dibangun sudah mencapai 999 buah.
Mengetahui usahanya gagal karena ulah Putri Roro Jonggrang maka
murkalah Bandung Bondowoso dan mengutuklah Putri Roro Jonggrang dengan
berkata “ hai Loro Jonggrang karena candi kurang satu, maka dirimulah
yang akan menjadi yang ke seribu “ dan anehnya Putri Loro Jongran
akhirnya menjadi sebuah Arca Batu. Dan arca batu tersebut sampai
sekarang ada di candi Prambanan.
Sedangkan bagi para gadis yang membantu membakar jerami untuk
membantu Putri Loro Jonggrang, Raden Bandung Bondowoso mengutuknya
menjadi perawan kasep alias perawan tua. Dan menurut kepercayaan orang
dahulu melarang orang yang sedang pacaran untuk mengunjungi candi
Prambanan karena akan putus cintanya.
Kisah Sangkuriang dan terbentuknya Tangkuban Parahu
LUASNYA wilayah Indonesia membuat Negara ini kaya akan berbagai hal, mulai dari kuliner, seni sampai ke cerita rakyat. Salah satu cerita rakyat yang terkenal di negeri ini ialah cerita tentang Sangkuriang. Legenda yang berasal dari tatar Sunda ini menceritakan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu dan beberapa gunung yang mengelilingi Kota Bandung.
Konon, di kahyangan ada sepasang dewa dewi yang melakukan kesalahan sehingga keduanya dihukum oleh Sang Hyang Tunggal turun ke bumi dan dikutuk menjadi hewan. Sang dewa dikutuk menjadi anjing dengan nama Si Tumang dan sang dewi dikutuk menjadi babi hutan dengan nama Wayung Hyang.
Suatu hari babi hutan itu kehausan dan meminum air yang ditemukannya di hutan dalam sebuah batok kelapa. Ia tak tahu kalau air itu sebenarnya air seni Raja Sungging Perbangka yang kebelet waktu berburu di hutan. Ajaibnya, babi itu pun hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Namun, Wayung Hyang meninggalkan bayi cantik ini di tengah hutan yang kemudian ditemukan oleh sang raja, tanpa ia ketahui bahwa bayi tersebut adalah anaknya.
Akhirnya, sang Raja membawa bayi cantik ini ke keraton untuk dibesarkan. Bayi tersebut diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik sehingga banyak pria yang ingin meminangnya. Namun, Dayang Sumbi tidak tertarik pada semua pinangan tersebut hingga terjadi peperangan karena berebut ingin mendapatkan Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi pun kemudian meminta kepada sang Ayah untuk pergi mengasingkan diri ke sebuah bukit dengan ditemani seekor anjing jantan, yaitu si Tumang. Selama pengasingannya, ia mengisi waktu dengan menenun. Satu waktu, saat Dayang Sumbi sedang asyik menenun di atas bale-bale, torak yang digunakannya jatuh ke bawah. Karena ia merasa malas untuk mengambilnya, ia hanya berkata “Siapa saja yang bisa mengambilkan torak itu, bila laki-laki akan saya jadikan suami, dan bila perempuan akan saya jadikan saudara”.
Di luar dugaan ternyata yang mengambilkan torak itu adalah Si Tumang. Dayang Sumbi pun harus memenuhi janjinya dan menikah dengan Si Tumang yang sebenarnya ia adalah seorang dewa yang tampan dan gagah. Raja yang mendengarnya merasa malu hingga Dayang Sumbi kembali diasingkan ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang.
Namun, pada malam bulan purnama, Dayang Sumbi terkejut karena si Tumang berubah ke wujud aslinya. Ia sempat tak percaya dan menganggap itu hanyalah mimpi sampai akhirnya Dayang Sumbi hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka memberi nama anak laki-laki itu Sangkuriang. Maka, ia pun tumbuh menjadi laki-laki tampan dan kuat.
Suatu hari, Dayang Sumbi yang sedang ingin makan hati menjangan (kijang) menyuruh Sangkuriang untuk berburu sambil ditemani Si Tumang. Tapi setelah sekian lama pergi ke hutan, ia tak menemukan satu hewan pun. Sampai akhirnya ia melihat seekor babi hutan yang sedang lari, ia pun menyuruh Si Tumang untuk mengejarnya. Namun Si Tumang hanya diam saat melihat babi hutan tersebut, karena ia tahu babi hutan itu adalah Wayung Hyang yang sebenarnya nenek dari Sangkuriang. Kesal melihat Si Tumang yang diam saja, Sangkuriang pun menakut-nakuti Si Tumang dengan panahnya, tapi ternyata anak panah itu terlepas dan mengenai Si Tumang.
Sangkuriang yang kebingungan dan belum dapat hewan buruan, langsung menyembelih Si Tumang dengan mengambil hatinya untuk diberikan ke ibunya. Dayang Sumbi sangat senang bisa makan hati hasil buruan anaknya. Tapi setelah mengetahui hati yang dimakannya ialah hati Si Tumang, ia sangat marah karena sebenarnya si Tumang adalah ayah Sangkuriang. Saking marahnya ia memukul Sangkuriang dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sampai kepala Sangkuriang terluka dan berdarah.
Sangkuriang yang tidak mengetahui kalau Tumang adalah ayahnya, ketakutan melihat sang ibu marah besar. Sangkuriang pun pergi meninggalkan rumah dan tak kembali pulang ke rumah. Dayang Sumbi merasa bersalah telah membuat anaknya pergi dari rumah. Ia hanya bisa berdoa kepada Sang Hyang Tunggal untuk dipertemukan kembali dengan anak semata wayangnya.
Setelah pergi meninggalkan rumahnya, Sangkuriang sendiri pergi mengembara sambil berguru pada banyak petapa sakti, sehingga kini ia menjadi pemuda yang kuat, sakti dan gagah perkasa. Setelah beberapa lama mengembara ke berbagai tempat, tanpa Sangkuriang sadari, ia tiba di tempat Dayang Sumbi, tempat di mana ia dibesarkan.
Di sana ia bertemu dengan putri cantik yang tanpa ia ketahui bahwa putri tersebut adalah ibu kandungnya, Dayang Sumbi. Kecantikan Dayang Sumbi didapatkan dari hasil tapanya selama ia ditinggal Sangkuriang. Selama itu pun, Dayang Sumbi hanya memakan tanaman mentah sehingga ia terlihat awet muda.
Mulanya, Dayang Sumbi juga tidak menyadari bahwa kstaria tampan tersebut adalah anaknya yang selama ini pergi meninggalkannya. Kemudian, keduanya saling jatuh cinta.
Suatu hari, Sangkuriang yang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi yang sedang menyisir rambut Sangkuriang melihat sebuah bekas luka di kepala Sangkuriang. Ketika itu juga, Dayang Sumbi teringat akan kejadian silam saat ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok. Setelah ia mengetahui bahwa ternyata Sangkuriang adalah anak kandungnya, maka Dayang Sumbi segera memberi tahu kebenarannya.
Namun, meski sudah diberitahu oleh Dayang Sumbi, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dengan sekuat Dayang Sumbi berusaha menolaknya, maka ia pun memberikan sebuah syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi. Ia menyuruh Sangkuriang untuk membuat perahu dan telaga (danau) dengan membendung sungai Citarum dalam waktu satu malam. Sangkuriang yang terlanjur telah jatuh cinta pada ibunya itu langsung menyanggupi dan mengerjakan permintaan itu dengan bantuan sahabat-sahabat jin-nya.
Sangkuriang kemudian membuat perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di timur, yang menurut banyak orang tunggul dari pohon itu kini menjadi Gunung Bukit Tanggul. Sedangkan ranting pohon yang ditumpuknya di sebelah barat itu menjadi Gunung Burangrang. Karena dibantu makhluk halus, Sangkuriang hampir menyelesaikan semuanya. Tapi, Dayang Sumbi yang tidak ingin menikah dengan anaknya terus berdoa pada Sang Hyang Tunggal agar Sangkuriang tak bisa menyelesaikannya.
Dayang Sumbi pun mengibaskan kain boeh raring hasil tenunannya, dan seketika kain putih itu bercahaya seperti fajar yang terbit dari timur. Jin yang membantu Sangkuriang mengira bahwa hari telah mulai pagi dan mereka pergi ketakutan. Sangkuriang yang kesal karena hampir menyelesaikan semuanya itu langsung menjebol bendungan danau yang berada di Sanghyang Tikoro, sumbat danau itu ia lemparkan ke arah timur dan kini menjadi Gunung Manglayang. Perahunya sendiri yang telah dibuat itu ditendangnya ke arah utara dan kini menjadi Gunung Tangkuban Parahu.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut, Gunung Tangkuban Parahu telah menjadi primadona Kota Bandung. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini untuk mengabadikan keindahannya. Dan yang bisa Sobat Djadoel ambil dari kisah ini adalah patuhilah orang tuamu.
0 komentar:
Posting Komentar