Rabu, 18 Maret 2015

Legenda


 

 

Candi Prambanan dan misteri Roro Jongrang – Bandung Bondowoso

             Bolehlah kalau kita menyebut Jawa sebagai “Pulau Candi”. Kenapa begitu? Ya bayangkan saja, banyak sekali candi tersebar di pulau yang satu ini, dari candi kecil, sampai candi yang paling besar, peninggalan dua agama di Indonesia, Buddha dan Hindu. Kalau kita mengenal Borobudur sebagai sebuah peninggalan Buddha yang besar, bahkan terbesar di dunia, maka salah satu peninggalan Hindu yang paling penting adalah Candi Prambanan.

(1).Candi Prambanan

            Candi Prambanan dibangun oleh Dinasti Sanjaya di abad ke-9, tepatnya selesai dibangun pada tahun 825 M. Candi yang mempunyai tinggi 47 meter ini terletak kurang lebih 17 kilometer dari Yogyakarta. Kita bisa dengan mudah melihatnya, karena letak candi ini hanya 100 meter dari jalan utama.
          Candi Prambanan terdiri atas 3 kompleks bangunan. Candi utama memiliki 3 tempat pemujaan (altar) yang didedikasikan untuk Dewa Trimurti. Candi Syiwa terletak di tengah, Wisnu di sebelah selatan, dan Candi Brahma di sebelah utara.
Disebut Candi Syiwa, karena di dalam bilik candi utamanya terdapat patung Dewa Syiwa (Dewa Perusak). Demikian pula pada Candi Brahma dan Wisnu, dimana di masing-masing candi terdapat patung Dewa Brahma (Dewa Penjaga) dan Dewa Wisnu (Dewa Pencipta). Ketiganya menghadap ke arah timur.
           Di depan setiap candi berdiri candi-candi lain yang lebih kecil, yang disebut dengan Candi Wahana, yang masing-masing menghadap ke arah barat. Dinamakan Candi Wahana karena di dalam bilik candi-candi ini terdapat patung binatang yang biasa dipakai sebagai tunggangan/ kendaraan atau wahana dari dewa-dewa tersebut. Lembu Nandi adalah tunggangan Syiwa, burung Garuda tunggangan Wisnu, dan Angsa adalah tunggangan Brahma.
Seperti Candi Borobudur yang kaya dengan reliefnya, Candi Prambanan juga memilki relief yang dipahatkan di pagar langkan. Di Candi Syiwa dan Candi Brahma terdapat relief cerita Ramayana, sedangkan di Candi Wisnu terdapat relief cerita Kresnayana.
Apabila kita memasuki candi utama dari utara, maka kita akan menemukan sebuah patung putri yang sangat cantik, Roro Jonggrang. Patung ini berhubungan erat dengan kisah atau legenda yang dipercaya masyarakat, yang melatarbelakangi berdirinya Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang

(2).Roro Jongrang – Bandung Bondowoso

           Menurut legenda, Roro Jonggrang adalah puteri dari Raja Boko yang berkuasa di daerah Prambanan. Kecantikan dan keanggunan Roro Jonggrang membuat seorang pria dari daerah Pengging yang bernama Bandung Bondowoso ingin memperistrinya. Tapi sebenarnya, Roro Jonggrang tidak mencintai Bandung Bondowoso. Sebagai strategi menolak pinangan tersebut, Roro Jonggrang mengeluarkan syarat agar dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam. Bandung Bondowoso pun menyanggupinya.
             Sebelum melaksanakan pekerjaannya, dia bersemedi untuk mendapat kekuatan dan bantuan dari para jin. Menjelang petang, pembangunan seribu candi mulai dilaksanakan, dan menjelang matahari terbit, pembangunan itu hampir selesai. Melihat hal ini, Roro Jonggrang pun cemas, dan berusaha mencegah kerja tersebut. Roro Jonggrang kemudian memanggil semua putri desa untuk membakar jerami dan memukul lesung (alat penumbuk padi tradisional di Jawa), supaya terkesan hari menjelang fajar. Jin-jin yang melihat hari telah menjelang fajar mulai meninggalkan pekerjaannya. Setelah dihitung, ternyata pekerjaan yang tersisa hanyalah sebuah arca.
Bandung Bondowoso pun mengetahui kecurangan Roro Jonggrang. Dengan perasaan marah dan kecewa, ia mendatangi Roro Jonggrang. Tapi Roro Jonggrang tetap bersikukuh minta digenapi menjadi 1000 candi. Hal ini menimbulkan kemarahan Bandung Bondowoso. “Kurang satu, tambahnya kamu sendiri”. Setelah Bandung Bondowoso mengeluarkan kata-kata itu, Roro Jonggrang pun langsung berubah menjadi arca, untuk melengkapi sebuah arca yang belum terselesaikan. Dan arca ini bisa kita lihat di bilik sebelah utara candi utama.

(3).BANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.
       Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita kegagalan.
      Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu malam.

            Bandung Bondowoso setuju. Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.
Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.
           Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.
”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis tragedi.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”
”Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak terhingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan relief yang menakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.

(4).Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso erat kaitannya dengan candi Prambanan, dimana candi ini juga memiliki nama lain yakni candi Loro Jonggang. Alkisah pada jaman dahulu kala terdapatlah dua buah kerajaan Hindu yang ada di Pulau Jawa dan terletak di dekat daerah yang sekarang bernama Prambanan.
Kerajaan itu adalah kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan Pengging adalah kerajaan yang subur dan makmur yang dipimpin oleh raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo dan memiliki seorang putra laki – laki yang bernama Bandung Bondowoso. Sedangkan kerajaan Pengging yang berada di wilayah kerajaan Pengging diperintah oleh seseorang raja yang kejam, dan memiliki wujud bukan manusia tetapi seorang raksasa yang suka makan daging manusia yang bernama Prabu Boko.
Meski berwujud raksasa, Prabu Boko memiliki seorang putri yang cantik seperti bidadari yang bernama Putri Loro Jonggrang beliau memiliki kecantikan bak seorang dewi dari kayangan. Dalam kerajaannya Prabu Boko memiliki seorang patih yang bernama Patih Gupolo, beliau adalah seorang yang sakti mandraguna.
Suatu kali Prabu Boko dan Patih Gupolo merencanakan untuk memberontak kepada kerajaan Pengging dan dibuatlah rencana itu sematang – matangnya dengan mengumpulkan perbekalan dari memeras rakyatnya serta melatih pemuda di kerajaannya untuk menjadi prajurit.
Setelah wajtunya tiba, berangkatlah prabu Boko ke kerajaan Pengging untuk berperang. Dan terjadilah peperangan yang dasyat antara prajurit kedua kerajaan itu dan banyaklah korban berjatuhan di kedua belah pihak. Dan akhirnya banyak rakyat dari kerajaan Pengging yang menjadi menderita dan kelaparan.
Karena sudah banyak rakyatnya yang menderita maka Prabu Damar Moyo mengutus anaknya sendiri yakni Bandung Bondowoso untuk maju ke medan pertempuran melawan prabu Boko dan terjadilah pertempuran yang sengit antara dua orang tersebut dan akhirnya prabu Boko dapat dikalahkan. Melihat rajanya tewas, patih Gupolo melarikan diri ke kerajaannya. Dan melaporkan kematian tersebut ke putrid Loro Jonggrang.
Putri Loro Jonggrang begitu sedih mendengar ayahandanya yang sudah meninggal. Bandung Bondowoso yang mengejar patih Gupolo akhirnya sampai ke kraton Boko dan disana ia bertemu dengan putrid Loro Jonggrang. Alih – alih ingin mencari patih Gupolo, Bandung Bondowoso akhirnya malah tertarik dengan sang putri dan berniat untuk melamarnya untuk dijadikan istri. Namun sang putri ingin menolak karena pemuda inilah yang membunuh ayahandanya, maka ia membuat sebuah siasat untuk bisa membalas dendam
Sang putri loro Jonggrang meminta dua buah hal kepada Bandung Bondowoso. Yang pertama adalah membuat sebuah sumur yang dalam. Dan dengan kesaktiannya bandung Bondowoso membuat sebuah sumur yang dalam yang ia beri nama sumur Jala Tunda. Dan ia segera memanggil sang putri untuk melihat sumur yang sudah ia buat. Putri Loro Jonggrang menyuruh Bandung Bondowoso untuk masuk kedalam sumur, dan setelah ia berada di dalam bumur putri Loro Jonggrang beserta patih Gupolo menimbun sumur tersebut dengan batu supaya Bandung Bondowoso mati. Namun ternyata kesaktian Bandung Bondowoso memang luar biasa, ia bisa meloloskan diri dari sumur itu dengan bersemedi.
Saat ia sudah selamat dari maut, ia langsung menuju ke istana Boko dengan amarah yang meledak – ledak. Bandung Bondowoso murka Karen putri Loro Jonggrang berusaha untuk membunuhnya. Namun dengan bujuk rayu yang dibuat oleh Loro Jonggrang maka redalah amarah yang ada di dada Bandung Bondowoso. Dan mulailah putri Loro jonggrang meminta janji yang kedua kepada Bandung Bondowoso. Ia meminta untuk dibuatkan 1000 buah candi dalam semalam yang diperkirakan akan gagal dilaksanakan olehnya. dan Bandung Bondowoso setuju dengan permintaannya
Maka dibantu oleh ribuan jin pengerjaan candi tersebut dimulai, menjelang tengah malam pembangunan sudah hampir selesai, dan loro jonggrang yang ketakutan akhirnya membuat siasat dengan membakar jerami sehingga pemandangan menjadi lebih terang sehingga berkokoklah ayam. Akhirnya jin yang membantu pengerjaan candi tersebut akhirnya melarikan diri, sedangkan candi yang dibangun sudah mencapai 999 buah.
Mengetahui usahanya gagal karena ulah Putri Roro Jonggrang maka murkalah Bandung Bondowoso dan mengutuklah Putri Roro Jonggrang dengan berkata “ hai Loro Jonggrang karena candi kurang satu, maka dirimulah yang akan menjadi yang ke seribu “ dan anehnya Putri Loro Jongran akhirnya menjadi sebuah Arca Batu. Dan arca batu tersebut sampai sekarang ada di candi Prambanan.
Sedangkan bagi para gadis yang membantu membakar jerami untuk membantu Putri Loro Jonggrang, Raden Bandung Bondowoso mengutuknya menjadi perawan kasep alias perawan tua. Dan menurut kepercayaan orang dahulu melarang orang yang sedang pacaran untuk mengunjungi candi Prambanan karena akan putus cintanya.





Kisah Sangkuriang dan terbentuknya Tangkuban Parahu



                 LUASNYA wilayah Indonesia membuat Negara ini kaya akan berbagai hal, mulai dari kuliner, seni sampai ke cerita rakyat. Salah satu cerita rakyat yang terkenal di negeri ini ialah cerita tentang Sangkuriang. Legenda yang berasal dari tatar Sunda ini menceritakan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu dan beberapa gunung yang mengelilingi Kota Bandung.
Konon, di kahyangan ada sepasang dewa dewi yang melakukan kesalahan sehingga keduanya dihukum oleh Sang Hyang Tunggal turun ke bumi dan dikutuk menjadi hewan. Sang dewa dikutuk menjadi anjing dengan nama Si Tumang dan sang dewi dikutuk menjadi babi hutan dengan nama Wayung Hyang.
Suatu hari babi hutan itu kehausan dan meminum air yang ditemukannya di hutan dalam sebuah batok kelapa. Ia tak tahu kalau air itu sebenarnya air seni Raja Sungging Perbangka yang kebelet waktu berburu di hutan. Ajaibnya, babi itu pun hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Namun, Wayung Hyang meninggalkan bayi cantik ini di tengah hutan yang kemudian ditemukan oleh sang raja, tanpa ia ketahui bahwa bayi tersebut adalah anaknya.
Akhirnya, sang Raja membawa bayi cantik ini ke keraton untuk dibesarkan. Bayi tersebut diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik sehingga banyak pria yang ingin meminangnya. Namun, Dayang Sumbi tidak tertarik pada semua pinangan tersebut hingga terjadi peperangan karena berebut ingin mendapatkan Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi pun kemudian meminta kepada sang Ayah untuk pergi mengasingkan diri ke sebuah bukit dengan ditemani seekor anjing jantan, yaitu si Tumang. Selama pengasingannya, ia mengisi waktu dengan menenun. Satu waktu, saat Dayang Sumbi sedang asyik menenun di atas bale-bale, torak yang digunakannya jatuh ke bawah. Karena ia merasa malas untuk mengambilnya, ia hanya berkata “Siapa saja yang bisa mengambilkan torak itu, bila laki-laki akan saya jadikan suami, dan bila perempuan akan saya jadikan saudara”.
Di luar dugaan ternyata yang mengambilkan torak itu adalah Si Tumang. Dayang Sumbi pun harus memenuhi janjinya dan menikah dengan Si Tumang yang sebenarnya ia adalah seorang dewa yang tampan dan gagah. Raja yang mendengarnya merasa malu hingga Dayang Sumbi kembali diasingkan ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang.
Namun, pada malam bulan purnama, Dayang Sumbi terkejut karena si Tumang berubah ke wujud aslinya. Ia sempat tak percaya dan menganggap itu hanyalah mimpi sampai akhirnya Dayang Sumbi hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka memberi nama anak laki-laki itu Sangkuriang. Maka, ia pun tumbuh menjadi laki-laki tampan dan kuat.
Suatu hari, Dayang Sumbi yang sedang ingin makan hati menjangan (kijang) menyuruh Sangkuriang untuk berburu sambil ditemani Si Tumang. Tapi setelah sekian lama pergi ke hutan, ia tak menemukan satu hewan pun. Sampai akhirnya ia melihat seekor babi hutan yang sedang lari, ia pun menyuruh Si Tumang untuk mengejarnya. Namun Si Tumang hanya diam saat melihat babi hutan tersebut, karena ia tahu babi hutan itu adalah Wayung Hyang yang sebenarnya nenek dari Sangkuriang. Kesal melihat Si Tumang yang diam saja, Sangkuriang pun menakut-nakuti Si Tumang dengan panahnya, tapi ternyata anak panah itu terlepas dan mengenai Si Tumang.
Sangkuriang yang kebingungan dan belum dapat hewan buruan, langsung menyembelih Si Tumang dengan mengambil hatinya untuk diberikan ke ibunya. Dayang Sumbi sangat senang bisa makan hati hasil buruan anaknya. Tapi setelah mengetahui hati yang dimakannya ialah hati Si Tumang, ia sangat marah karena sebenarnya si Tumang adalah ayah Sangkuriang. Saking marahnya ia memukul Sangkuriang dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sampai kepala Sangkuriang terluka dan berdarah.
Sangkuriang yang tidak mengetahui kalau Tumang adalah ayahnya, ketakutan melihat sang ibu marah besar. Sangkuriang pun pergi meninggalkan rumah dan tak kembali pulang ke rumah. Dayang Sumbi merasa bersalah telah membuat anaknya pergi dari rumah. Ia hanya bisa berdoa kepada Sang Hyang Tunggal untuk dipertemukan kembali dengan anak semata wayangnya.
Setelah pergi meninggalkan rumahnya, Sangkuriang sendiri pergi mengembara sambil berguru pada banyak petapa sakti, sehingga kini ia menjadi pemuda yang kuat, sakti dan gagah perkasa. Setelah beberapa lama mengembara ke berbagai tempat, tanpa Sangkuriang sadari, ia tiba di tempat Dayang Sumbi, tempat di mana ia dibesarkan.
Di sana ia bertemu dengan putri cantik yang tanpa ia ketahui bahwa putri tersebut adalah ibu kandungnya, Dayang Sumbi. Kecantikan Dayang Sumbi didapatkan dari hasil tapanya selama ia ditinggal Sangkuriang. Selama itu pun, Dayang Sumbi hanya memakan tanaman mentah sehingga ia terlihat awet muda.
Mulanya, Dayang Sumbi juga tidak menyadari bahwa kstaria tampan tersebut adalah anaknya yang selama ini pergi meninggalkannya. Kemudian, keduanya saling jatuh cinta.
Suatu hari, Sangkuriang yang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi yang sedang menyisir rambut Sangkuriang melihat sebuah bekas luka di kepala Sangkuriang. Ketika itu juga, Dayang Sumbi teringat akan kejadian silam saat ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok. Setelah ia mengetahui bahwa ternyata Sangkuriang adalah anak kandungnya, maka Dayang Sumbi segera memberi tahu kebenarannya.
Namun, meski sudah diberitahu oleh Dayang Sumbi, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dengan sekuat Dayang Sumbi berusaha menolaknya, maka ia pun memberikan sebuah syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi. Ia menyuruh Sangkuriang untuk membuat perahu dan telaga (danau) dengan membendung sungai Citarum dalam waktu satu malam. Sangkuriang yang terlanjur telah jatuh cinta pada ibunya itu langsung menyanggupi dan mengerjakan permintaan itu dengan bantuan sahabat-sahabat jin-nya.
Sangkuriang kemudian membuat perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di timur, yang menurut banyak orang tunggul dari pohon itu kini menjadi Gunung Bukit Tanggul. Sedangkan ranting pohon yang ditumpuknya di sebelah barat itu menjadi Gunung Burangrang. Karena dibantu makhluk halus, Sangkuriang hampir menyelesaikan semuanya. Tapi, Dayang Sumbi yang tidak ingin menikah dengan anaknya terus berdoa pada Sang Hyang Tunggal agar Sangkuriang tak bisa menyelesaikannya.
Dayang Sumbi pun mengibaskan kain boeh raring hasil tenunannya, dan seketika kain putih itu bercahaya seperti fajar yang terbit dari timur. Jin yang membantu Sangkuriang mengira bahwa hari telah mulai pagi dan mereka pergi ketakutan. Sangkuriang yang kesal karena hampir menyelesaikan semuanya itu langsung menjebol bendungan danau yang berada di Sanghyang Tikoro, sumbat danau itu ia lemparkan ke arah timur dan kini menjadi Gunung Manglayang. Perahunya sendiri yang telah dibuat itu ditendangnya ke arah utara dan kini menjadi Gunung Tangkuban Parahu.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah tersebut, Gunung Tangkuban Parahu telah menjadi primadona Kota Bandung. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini untuk mengabadikan keindahannya. Dan yang bisa Sobat Djadoel ambil dari kisah ini adalah patuhilah orang tuamu.

0 komentar:

Posting Komentar