Latar
Belakang
1.
Disini saya akan sedikit menjelaskan tentang idenstitas
novel ini.
2.
Judul
: Moga Bunda Disayang Allah
3.
Penulis
: Tere Liye
4.
Penerbit
: Republika
5.
Jumlah Halaman : 247
6.
Jenis
Cover : Soft Cover
7.
Dimensi (PxL)
: 20,5 x 13,5 cm
8.
Text
Bahasa :
Indonesia
9.
Tahun :
2009 ( cetakan ke-5)
Sinopsis :
Dalam Novel ini diceritakan seorang anak bernama
Melati penderita buta dan tuli untuk bisa mengenali dunia, dan juga perjuangan
seorang Pemuda bernama Karang untuk bisa keluar dari perasaan bersalah setelah
kematian 18 anak didiknya dalam kecelakaan kapal.
Melati bocah berusia 6 tahun yang buta dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga semua tertutup baginya. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Rasa ingin tahu yang dipendam bertahun tahun itu akhirnya memuncak, menjadikan Melati menjadi frustasi dan sulit dikendalikan. Melati hanya bisa mengucap Baa dan Maa. Orang tuanya berusaha berbagai macam cara untuk bisa mengendalikan Melati. Bahkan tim dokter ahli yang diundang oleh orang tuanya tidak berhasil mengendalikan Melati.
Pak Guru karang, seorang pemuda yang suka mabuk dan sering bermurung diri dikamar rumah ibu gendut yang akhirnya menjadi guru Melati. Karang sebenarnya hampir kehilangan semangat hidupnya setelah 18 anak didiknya tewas dalam kecelakaan perahu. Perasaan bersalahnya hampir setiap hari menghantuinya selama 3 tahun terakhir. Dia bahkan hampir tidak berminat ketika ibunya Melati memintanya untuk membimbing Melati. Tapi demi cintanya terhadap anak-anak Karang akhirnya datang memenuhi permintaan ibunya Melati.
Tidak mudah untuk menemukan metode pengajaran bagi Melati. Bagaimana caranya Melati bisa mendengar apa yang dikatakan Karang ? Bagaimana caranya Melati bisa melihat? Bahkan untuk menangis saja Melati tidak bisa menemukan kosakata yang benar. Dunia Melati benar-benar gelap. Melati tidak mempunyai akses untuk tahu. Tidak mempunyai cara untuk mengenal apa yang ingin dia kenal. Setiap kali ada yang menyentuh tubuh Meklati maka dia akan marah, mengamuk dan meklemparkan apa saja yang tercapai oleh tangannya.
Karang hampir putus asa. Lalu keajaiban datang ketika air mancur membasuh lembut telapak tangan Melati. Melati merasakan aliran air di sela jemarinya. Saat itulah untuk pertama kalinya Karang melihat Melati tertawa. Karang akhirnya mengerti, melalui telapak tangan itulah karang menuliskan kata Air, dan meletakkan telapak tangan Melati kemulutnya dan berkata A-I-R. Melati akhirnya mengerti benda yang menyenangkan itu bernama air. Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir di tangan dan sela-sela jarinya berhasil mencukilnya. Melalui telapak tangan itulah semua panca indera disitu. Akhirnya dunia Melati tidak lagi gelap. Dia bisa mengenali orang tuanya, dia bisa mengenali kursi, sendok, pohon dan sebagainya.
Melati bocah berusia 6 tahun yang buta dan tuli sejak dia berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga semua tertutup baginya. Melati tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Rasa ingin tahu yang dipendam bertahun tahun itu akhirnya memuncak, menjadikan Melati menjadi frustasi dan sulit dikendalikan. Melati hanya bisa mengucap Baa dan Maa. Orang tuanya berusaha berbagai macam cara untuk bisa mengendalikan Melati. Bahkan tim dokter ahli yang diundang oleh orang tuanya tidak berhasil mengendalikan Melati.
Pak Guru karang, seorang pemuda yang suka mabuk dan sering bermurung diri dikamar rumah ibu gendut yang akhirnya menjadi guru Melati. Karang sebenarnya hampir kehilangan semangat hidupnya setelah 18 anak didiknya tewas dalam kecelakaan perahu. Perasaan bersalahnya hampir setiap hari menghantuinya selama 3 tahun terakhir. Dia bahkan hampir tidak berminat ketika ibunya Melati memintanya untuk membimbing Melati. Tapi demi cintanya terhadap anak-anak Karang akhirnya datang memenuhi permintaan ibunya Melati.
Tidak mudah untuk menemukan metode pengajaran bagi Melati. Bagaimana caranya Melati bisa mendengar apa yang dikatakan Karang ? Bagaimana caranya Melati bisa melihat? Bahkan untuk menangis saja Melati tidak bisa menemukan kosakata yang benar. Dunia Melati benar-benar gelap. Melati tidak mempunyai akses untuk tahu. Tidak mempunyai cara untuk mengenal apa yang ingin dia kenal. Setiap kali ada yang menyentuh tubuh Meklati maka dia akan marah, mengamuk dan meklemparkan apa saja yang tercapai oleh tangannya.
Karang hampir putus asa. Lalu keajaiban datang ketika air mancur membasuh lembut telapak tangan Melati. Melati merasakan aliran air di sela jemarinya. Saat itulah untuk pertama kalinya Karang melihat Melati tertawa. Karang akhirnya mengerti, melalui telapak tangan itulah karang menuliskan kata Air, dan meletakkan telapak tangan Melati kemulutnya dan berkata A-I-R. Melati akhirnya mengerti benda yang menyenangkan itu bernama air. Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir di tangan dan sela-sela jarinya berhasil mencukilnya. Melalui telapak tangan itulah semua panca indera disitu. Akhirnya dunia Melati tidak lagi gelap. Dia bisa mengenali orang tuanya, dia bisa mengenali kursi, sendok, pohon dan sebagainya.
Riwayat pengarang
Tere
Liye merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa india
yang berarti “Untukmu”. Tere Liye lahir dan besar di pedalaman Sumatera,
pada tanggal 21 Mei 1979, dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia terlahir
dari keluarga petani, Tere Liye menyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP,
di SDN2 dan SMN2 Kikim Timur, Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan ke SMUN 9
Bandar Lampung, setelah itu ia meneruskan ke Universitas Indonesia dan
mengambil jurusan Ekonomi.
Karya-karya
Tere Liye sangatlah menyentuh hati, bila kita membaca novelnya, contohnya saja
novel Moga Bunda Disayang Allah, kita bisa mengetahui bagaimana rasanya jika
kita tidak bisa melihtai dan mendengar. Pasti akan sangat tersiksa.
Berikut karya-karya
Tere Liye yang lain :
1.
Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka
Umum, 2010)
2.
Pukat (Penerbit Republika, 2010)
3.
Burlian (Penerbit Republika, 2009)
4.
Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005)
5.
Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2007)
6.
Bidadari-Bidadari Surga (Republika, 2008)
7.
Sang Penandai (Serambi, 2007)
8.
Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Grafindo, 2006; Republika
2009)
9.
Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (AddPrint, 2005)
10.
Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur (AddPrint, 2006)
11.
Senja Bersama Rosie (Grafindo, 2008)
12.
ELIANA ,serial anak-anak mamak
13.
Berjuta Rasanya (Republika, 2012)
14.
Sepotong hati yang baru (Republika, 2012)
Kelebihan :
Pengarang menciptakan karakter Melati, Bunda dan
Karang dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana yang lebih
pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar terasa adanya tiga
tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen penderita, agen
perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam
kedudukannya sendiri-sendiri sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam
kehidupan nyata. Cerita ini menyuguhkan perjuangan hidup yang tidak mudah yang
dialami oleh anak-anak. Baik itu Karang yang yatim piatu maupun Melati dengan
segala kekurangannya. Namun ada satu kesamaan antara mereka, anak-anak selalu
punya janji masa depan yang lebih baik.Penulis berulang kali mengungkapkan
kalimat yang mengingatkan pembaca untuk bersabar dan bersyukur “Hidup ini adil,
sungguh Allah Maha Adil, kitalah yang terlalu bebal sehingga tidak tahu dimana
letak keadilanNya, namun bukan berarti Allah tidak adil”.
Kekurangan :
Cerita ini ditulis dalam gaya bahasa sehari-hari
yang tidak baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang tidak baku serta
kalimat tambahan yang tidak perlu mengganggu kenyamanan dalam membaca. Seperti
penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” yang artinya menunjuk pada seorang ibu yang
bertubuh subur dan kata “anak-anak” untuk penunjukan kata benda seorang anak.Pilihan
penulis dalam penempatan setting dan kegiatan pendukung dalam novel terasa
kurang tepat. Dalam novel semua tokoh digambarkan sebagai orang-orang muslim
dengan segala aktivitas dan atribut mereka, namun pada ending cerita penulis
menciptakan suasana pesta kembang api yang dirayakan pada tahun baru Imlek oleh
masyarakat termasuk para tokoh novel. Alih-alih menyebutkan secara jelas kota
atau negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya
menyebutkan tempat-tempat semu: “rumah di atas bukit”, “daerah jauh dari
ibukota”, “Tuan dan Bunda HK”. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman budaya
atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal tokoh Melati,
sehingga kurang ada alasan tepat jika penulis dengan tiba-tiba memasukkan salah
satu kegiatan tahunan keluarga Melati adalah merayakan tahun baru China
Judul : Hafalan Shalat Delisa
Pengarang : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2008
Cetakan ke : ke-VII
Tebal halaman : 309 halaman
Harga : Rp 50.000,00
Pengarang : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2008
Cetakan ke : ke-VII
Tebal halaman : 309 halaman
Harga : Rp 50.000,00
B.
SINOPSIS :
Delisa, gadis kecil
berusia 6 tahun,anak bungsu dari Ummi Salamah dan Abi Usman. Kakak-kakak Delisa
bernama Cut Fatimah berusia 16 tahun, siswi kelas 1 di Madrasah Aliyah, Cut
Aisyah dan Cut Zahra. Cut Aisyah dan Cut Zahra merupakan saudara kembar, mereka
duduk di kelas 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Lhok Nga. Walaupun, mereka
saudara kembar, tapi mereka mempunyai sifat yang berbeda sekali. Abinya bekerja
di tanker perusahaan minyak Internasional. Hanya setiap 3 bulan sekali Abi bisa
pulang ke rumahnya dan berkumpul dengan keluarganya. Sedangkan Ummi,tinggal
bersama anak-anaknya di komplek perumahan sederhana yang dekat sekali dengan
pantai Lhok Nga.
Suatu hari, Delisa
mendapat tugas dari Ibu Guru Nur ,yakni menghafal bacaan-bacaan shalat yang
akan di praktekkan di depan Ibu Nur tepatnya pada tanggal 24 Des 2004.Ibu
memberikan sebuah kalung emas seberat 2 gram dengan berliontin D sebagai
motivasi baginya supaya bisa menghafal bacaan-bacaan shalat itu, yang dibeli di
Toko Kok Acan. Koh Acan merupakan teman dekat Abi yang selalu sayang dengan
anak-anak nya.
Pagi yang cerah
tepatnya tanggal 26 Desember 2004, Delisa mempraktekan hafalan shalatnya di
depan kelas. Tiba-tiba ketika Delisa selesai takbiratul ihram,tanah bergetar
dengan dahsyat. Bumi seperti di goyang tangan raksasa, air laut semakin mundur,
masuk ke dalam retakan. Gempa berkekuatan 8,9 SR itu membuat tsunami
menyusul menyapu daratan. Tapi anehnya Delisa tetap khusuk dalam melafazkan
hafalan shalatnya. Namun, terjangan air laut yang sangat kuat menghayutkan
semua yang ada, Delisa jatuh dan terpental oleh kekuatan air.
Bencana itu menewaskan
sekitar 3.000 orang yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya. Termasuk Ummi
Delisa, dan ketiga kakaknya, serta Ibu Guru Nur juga tewas dalam peristiwa itu.
Dan Delisa selamat, karena Ibu Guru Nur mengikat tubuh Delisa di
atas papan dengan menggunakan kerudung milik Ibu Nur yang robek. Selama 6 hari
Delisa pingsan tak sadarkan diri, dalam pingsannya dia bermimpi bertemu dengan
Ummi,Kak Fatimah,Kak Aisyah dan Kak Zahra,yang pergi meninggalkan Delisa tanpa
mengajaknya pergi bersama mereka. Sampai akhirnya Delisa sadar,tapi Delisa
tidak bisa bergerak, kakinya terjepit di sela-sela semak, tubuhnya terjembab di
atas semak-belukar. Siku kanan Delisa juga patah. Delisa menggantung terbaring
tidak berdaya.
Setelah hampir
mencapai satu minggu, Delisa akhirnya di temukan oleh Prajurit Smith yang
kemudian menjadi mu’alaf dan berganti nama menjadi Prajurit Salam. Akibat dari
kekuasaan Allah Prajurit Smith mendapatkan petunjuk.Petunjuk itu berasal dari
seorang Delisa,karena semangatnya untuk tetap hidup walaupun telah tergeletak
selama beberapa hari.Kemudian Delisa di rawat oleh Suster Shopi , dia adalah
sekarelawan yang berada di atas kapal Angkatan Laut Amerika. Dalam
perawatannya, Delisa tidak sadarkan diri.Dan pada saat itu dia menerima semua
yang terjadi pada tubuhnya seperti kaki yang diamputasi dan jahitan-jahitan di
kepala.Informasi mengenai bencana ini sampai ke telinga Abi.Dan Abi memutuskan
untuk pulang melihat keadaan keluarganya. Abi sangat sedih melihat rumahnya
yang rata oleh tanah. Setelah beberapa hari Prajurit Salam menempelkan daftar
nama korban yang selamat.Ternyata ada nama Delisa ,kesedihan Abi
berkurang, meskipun belum ada kabar tentang Ummi.
Setelah bertemu dengan
Abi, Delisa menceritakan semuanya tentang kondisinya. Tidak terlihat
sebuah ketidakterimaan darinya. Kaki yang sudah di amputasi, tangannya
yang patah, kepalanya yang botak karena luka, dan giginya yang tinggal dua. Abi
tidak menyangka Delisa lebih kuat menerima semuanya, menerima takdir yang telah
di gariskan oleh ALLAH.
Beberapa bulan pasca
tsunami, Delisa sudah bisa menerima keadaan yang sangat pahit itu, dia memulai
kembali kehidupan dari awal bersama Abinya. Hidup di posko-posko, hidup dengan
orang-orang yang senasib. Dan tantangan yang berat bagi Delisa saat itu adalah
mengembalikan hafalan shalatnya. Hafalan shalatnya hilang begitu saja, namun
becana yang melanda Aceh tersebut membuat Delisa lebih memahami makna ikhlas.
Ikhlas untuk menerima keadaan. Delisa sadar bahwa selama ini dia berusaha
menghafal bacaan shalat bukan karena ALLAH, tapi semata-mata hanya karena ingin
mendapatkan sebatang coklat, sebuah kalung berliontin D , dan untuk mendapatkan
sepeda.
Ketika tidur, Delisa
bermimpi bertemu dengan Umminya, yang menunjukan kalung yang dinanti-nantinya
selama ini.
Sore itu, Sabtu, 21
Mei 2005, setelah shalat Ashar, ketika Delisa sedang mencuci tangan di tepi
sungai, Delisa melihat pantulan cahaya matahari senja dari sebuah benda yang
terjuntai di semak belukar,yang berada di seberang sungai. Itu
membuat hati Delisa merasa bergetar. Delisa berkata “ Ya ALLAH, bukankah itu
seuntai kalung?” , ternyata Delisa benar,itu merupkan kalung yang berliontin D
yang dibelinya untuk keberhasilannya dalam membaca bacaan shalat.
Yang membuat Delisa
bertambah terkejut, kalung itu ternyata bukan tersangkut di dedahanan. Tetapi
kalung itu tersangkut di tangan, tangan yang sudah menjadi kerangka, sempurna
kerangka manusia, putih tulang-belulang, utuh bersandarkan semak belukar
tersebut. Tangan itu adalah jasad tangan Ummi yang sudah 3 bulan lebih
menggenggam kalung emas seberat 2 gram berliontin huruf D.
C. UNSUR INTRINSIK
I.
Tema
Tema
Novel Hafalan Shalat Delisa adalah Perjuangan Seorang Anak Kecil dalam
Menghafal Bacaan Shalat.
II.
Penokohan
Tokoh-tokoh
dan watak dalam novel Hafalan Shalat Delisa, yaitu
1.
Delisa
·
Pantang Menyerah ( Badannya terus terseret. Ya
Allah, Delisa ditengan sadar dan tidaknya ingin sujud... Ya Allah, Delisa ingin
sujud dengan sempurna. Delisa sekarang hafal bacaannya... Delisa tidak lupa
seperti tadi shubuh (Hafalan Shalat Delisa, hal. 71))
·
Penyayang ("Delisa.... D-e-l-i-s-a cinta Ummi...
Delisa c-i-n-t-a Ummi karena Allah (Hafalan Shalat Delisa, hal. 53))
2. Ummi Salamah
·
Rendah Hati ("ah nggak usah. Biar saya bayar
penuh Koh Acan!" (Hafalan Shalat Delisa, hal. 19))
·
Sabar ("Bukan, sayang... Kan kita udah janji,
kamu nggak akan pegang kalungnya sebelum kamu hafala seluruh bacaan shalat!
sebelum lulus dari ujian Ibu Guru Nur (Hafalan Shalat Delisa, hal. 22))
·
Perhatian ("Kamu kenapa, sayang?" ;
"Kamu sakit?" (Hafalan Shalat Delisa, hal. 27))
3. Kak Fatimah
·
Tegas (" Ais, kamu memangnya nggak bisa bangunin
delisa nggak pakai teriak-teriak apa?" (Hafalan Shalat Delisa, hal.2))
·
Sabar (" Delisa bangun, sayang... Shubuh!"
(Hafalan Shalat Delisa, hal 2))
4. Kak Aisyah
·
Keras Kepala (" Yee, Delisa jangankan
digerak-gerakkan kencang-kencang, speaker meunasah ditaruh di kupingnya saja,
ia nggak bakal bangun-bangun juga." (Hafalan Shalat Delisa, hal. 2)
·
Egois ("Makanya kamu cepetan menghafal
bacaannya.... bikin repot saja!" (Hafalan Shalat Delisa, hal. 8))
·
Iri ("Kenapa Delisa dapat kalung yang lebih
bagus! kenapa kalung Delisa lebih bagus dibandingkan dengan kalung Aisyah...
lebih bagus dari kalung Zahra... kalung Kak Fatimah." (Hafalan Shalat
Delisa, hal.32))
5. Kak Zahra
·
Sabar ("Iya! Tapi kamu nyarinyakan bisa lebih
pelan sedikit? Nggak mesti merusak lipatan pakaian yang lainkan?" (Hafalan
Shalat Delisa, hal.49))
6.
Ustadz Rahman
·
Pengetian ("Biar nggak kebolak-balik kamu mesti
menghafalnya berkali-kali... Baca berkali-kali... nanti nggak lagi! Nanti pasti
terbiasa." (Hafalan Shalat Delisa, hal.38))
7. Abi Usman
·
Pengertian ("Tentu saja Delisa bisa menghafalnya
kembali. Insya Allah jauh lebih cepat sekarang... Kan, Delisa pernah menghafal
sebelumnya (Hafalan Shalat Delisa, hal.151))
·
Perhatian ("Bagaimana sayang, apakah Delisa sudah
merasa baikan?" (Hafalan Shalat Delisa, hal. 226))
8. Umam
Nakal
(“Maafin Umam, Umi. Umam ngaku, Umam yang ngambil uang belanja Umi”)
9.
Tiur
Baik (“Ayo Delisa, aku ajarin naik sepedanya”)
10.
Pak Cik Acan
Baik (“Udahlah Umi Salamah, buat umi Salamah saya kasih setengah harga”)
Baik (“Udahlah Umi Salamah, buat umi Salamah saya kasih setengah harga”)
11.
Smith Adam
Perhatian ( “Bagaimana Shopie? Apakah keadaan anak itu
berubah?”)
12.
Shopie
Baik
, Perhatian (“Delisa jangan menangis, saya janji akan sering kirim surat dan
hadiah untuk Delisa. Saya juga suatu saat nanti akan kembali ke sini untuk
menemui Delisa”)
III.
Latar
1. Latar
Tempat
·
Lhok Nga
Menggetarkan
langit-langit Lhok Nga yang masih gelap (Hafalan Shalat Delisa, hal.1)
·
Kamar Rawat
Shopi
melangkah keluar kamar, entah mengambil apa (Hafalan Shalat Delisa, hal.132)
·
Hutan
Sersan Ahmed
berlari menuju semak belukar tersebut. (Hafalan Shalat Delisa, hal.109)
·
Tenda darurat
Delisa
menatap tenda-tenda yang berjejer rapi tersebut (Hafalan Shalat Delisa,
hal.156)
2. Latar
Waktu
·
Pagi hari
Adzan shubuh
dari meunasah terdengar syahdu (Hafalan Shalat Delisa, hal.1)
Cahaya
matahari menyemburat dari balik bukit yang memagari kota (Hafalan Shalat
Delisa, hal.5)
·
Siang hari
Sinar terik
matahari mengembalikan panca-indranya (Hafalan Shalat Delisa, hal.92)
·
Sore hari
Matahari
bergerak menghujam bumi semakin rendah. Jingga memenuhi langit (Hafalan Shalat
Delisa, hal.46)
·
Dini Hari
Malam ketiga
ketika Delisa terbaring tak berdaya. Pukul 02.45 (Hafalan Shalat Delisa,
hal.112)
3. Setting
Suasana
·
Ramai
Pasar Lhok
Nga ramai sekali. Hari Ahad begini. Semua seperti sibuk berbelanja (Hafalan
Shalat Delisa, hal.19)
·
Senang
"Delisa
boleh pilih kalungnya sendiri, kan? Seperti punya Kak Fatimah, punya Kak Zahra
atau, seperti punya Kak Aisyah!" (Hafalan Shalat Delisa, hal.17)
·
Sedih
Sungguh
semua hancur. Sungguh semuanya musnah. Ya Allah, kami belum pernah melihat
kehancuran seperti ini. Kota ini tak bersisa, kota ini luluh lantak hanya
meninggalkan berbilang kubah masjid, kota itu menjadi cokelat, kota ini tak
berpenghuni lagi. Kota ini! Kota itu! (Hafalan Shalat Delisa, hal.81)
IV.
Alur
Alur yang
ada dalam novel "Hafalan Shalat Delisa", yaitu alur maju. Hal ini
dibuktikan oleh beberapa tahapan sebagai berikut :
·
Pengenalan/ awal cerita
Awal cerita
dalam novel ini didahului oleh sebuah keluarga yang memiliki seorang anak bernama
Delisa. Delisa adalah anak kecil berumur 6 tahun yang sedang berusaha menghafal
bacaan shalatnya. Delisa selalu susah untuk menghafal bacaan shalatnya. Setiap
shalat Kak Aisyah membaca keras-keras bacaan shalatnya agar Delisa lebih mudah
untuk menghafal bacaan shalatnya. Kak Aisyah selalu menjahili Delisa. Abi
Delisa bekerja di pertambangan minyak sehingga Abi Delisa pulang 1 bulan
sekali.
·
Timbulnya konflik / titik awal pertikaian
Awal
pertikaian ditunjukan ketika delisa akan dibelika kalung oleh ibu sebagai
hadiah telah menghafal bacaan shalatnya. Namun kalung yang delisa beli berbeda
dengan kalung yang dibelikan ibu kepada kakak-kakaknya. Hal tersebut membuat
Kak Aisyah merasa cemburu atau iri terhadap kalung yang dibelikan ibu kepada
Delisa
·
Puncak konflik/titik puncak cerita
Titik puncak
certita adalah ketika Delisa sedang menjalani tes hafalan bacaan shalat oleh
Ibu Guru Nur. Ketika itu tiba-tiba saja kota Aceh dilanda gempa yang sangat
kuat. Gempa itu berskala 9.1 SR. Delisa yang sedang tes tetap melanjutkannya,
tidak peduli kondisi sekitar seperti apa. Padahal semua murid yang sedang
menunggu giliran sudah berhamburan keluar sekolah. Namun Ibu Guru Nur tetap
setia menemani Delisa. Setelah gempa mereda, air laut seketika naik sangat
tinggi, menyebabkan para nelayan berlari kesana-kesini. Ternyata gempa itu
disertai dengan tsunami. Air dengan arus yang sangat dahsyat menerjang tubuh
mungil Delisa yang sedang menjalani tes. Abi yang tau berita ini lewat
televisi, langsung meminta cuti ke bosnya untuk kembali ke aceh dan segera
mengetahui kondisi keluarganya. Namun ketika Abi sampai di Aceh, dia mendapat
berita yang menyedihkan. Abi di beritahu oleh Koh Acan bahwa semua anggota
keluarganya telah meninggal. Hanya tinggal Delisa sajalah yang sampai saat ini
belum ditemukan juga.
·
Antiklimaks
Antiklimaks
dalam novel ini ketika Delisa telah merelakan kepergian seluruh anggota
keluarganya kecuali Abi. Delisa tidak akan pernah membahas Ummi didepan Abi.
Delisa tidak ingin membuat Abi sedih. Dan semenjak kejadian itu Delisa lupa
akan semua hafalan shalat yang pernah ia hafal. Delisa berusaha untuk
menghafalnya lagi namun hal terserbut malah semakin sulit untuk dihafal.
·
Penyelesaian Masalah
Pada
akhirnya, Delisa tersadar hal apa yang dapat membuat lupa akan hafalan
shalatnya itu. Hal itu adalah Delisa menghafal bacaan shalatnya hanya demi
mendapat kalung dari Ummi. Delisa menghafal bacaan shalatnya agar mendapat
imbalan dari Ummi. Dan sekarang Delisa sudah dapat mengingat seluruh hafalan
shalatnya karena Delisa memiliki satu niat, yaitu ikhlas dalam melakukan apapun
dan jangan mengharapkan suatu imbalan.
V.
Sudut Pandang
Sudut
pandang yang digunakan pengarang dalam novel tersebut, yaitu sudut pandang
orang ketiga serba tahu. Hal ini dibuktikan oleh pengarang yang selalu menyebut
nama tokoh-tokoh pemeran dalam novel tersebut, dimana seakan-akan pengarang
begitu mengerti perasaan yang dialami tokoh dalam cerita.
"Ummi
Salamah terpana. Ya Allah, kalimat itu sungguh indah. Ya Allah... kalimat itu
membuat hatinya meleleh seketika" (Hafalan Shalat Delisa, hal.53)
VI.
Gaya Bahasa
·
Gaya Hiperbola
"Ya
Allah... kalimat itu membuat hatinya meleleh seketika" (Hafalan Shalat
Delisa, hal.53)
"Ya
Allah, tubuh itu bercahaya. Tubuh yang ditatapnya bercahaya.
Berkemilauan-menakjubkan. Lihatlah! lebih indah dari tujuh pelangi dijadikan
satu" (Hafalan Shalat Delisa, hal.108)
·
Gaya Personifikasi
"Gelombang
tsunami sudah menghantam bibir pantai" (Hafalan Shalat Delisa, hal.70)
"Terlambat,
gelombang itu menyapu lebih cepat" (Hafalan Shalat Delisa, hal.70)
·
Gaya Metafora
"Pohon-pohon
bertumbangan bagai kecambang tauge yang akarnya lemah menunjang" (Hafalan
Shalat Delisa, hal.70)
B. UNSUR EKSTRINSIK
I. Latar
Belakang Penulis
PE“Tere Liye” merupakan nama pena dari seorang novelis Indonesia yang
diambil dari bahasa India dengan arti : untukmu. Tere-Liye Lahir pada tanggal
21 Mei 1979 dan telah menghasilkan 14 buah novel.Nama asli dari pengarang ini
adalah Darwis ,yang beristrikan Riski Amelia, dan seorang ayah dari Abdullah
Pasai.Lahir dan besar di pedalaman Sumatera, berasal dari keluarga petani, anak
keenam dari tujuh bersaudara.Riwayat pendidikannya antara lain, SDN 2 Kikim
Timur Sumatera Selatan, SMPN 2 Kikim Timur Sumsel,SMUN 9 Bandar
Lampung,Fakultas Ekonomi UI.Profesinya sekarang sebagai penulis dan sebagai
pemateri dalam forum diskusi.Berkat dari kerja kerasnya itu membuat novel nya
itu sampai ke pasaran Internasional,oleh sebab itu ia dijuluki sebagai novelis
terbaik Indonesia. Novelnya ada yang sampai ke mancanegara yang diterjemahkan
dalam bahasa inggris.Karya-karyanya yang telah dipublikasikan antara lain
berjudul Daun yg Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Pukat, Burlian,Hafalan Shalat
Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Ayahku bukan Pembohong,The Gogons Series:
James & Incridible, Bidadari-Bidadari Surga, Sang Penandai, Rembulan
Tenggelam Di Wajahmu, Mimpi-Mimpi Si Patah Hati, Cintaku Antara Jakarta &
Kuala Lumpur, Senja Bersama Rosie, dan ELIANA serial anak-anak mamak.Semua dari
karya-karyanya itu mendapatkan tanggapan positif dari setiap pembaca. Hampir
semua dari novel-novelnya itu menjadi best seller.
Dibandingkan dengan novel sesudah maupun
sebelumnya,novel Hafalan Shalat Delisa ini lebih memberikan wawasan yang banyak
terutama mengenai ibadah seperti menjaga kekhusyukan dalam shalat. Pada
novel ini penulis memakai bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh
pembaca,berbeda dengan novelnya yang berjudul Ayahku Bukan Pembohong,yang
banyak menggunakan kata-kata kiasan dan juga majas-majas yang sulit dipahami
bagi pembaca terutama bagi pembaca pemula.Novel Hafalan Shalat Delisa
lebih banyak problema yang terjadi tidak hanya terfokus pada satu permasalahan
saja dan semua nya itu dipecahkan atau diselesaikan dengan bijaksana,sedangkan
pada novel Ayahku Bukan Pembohong hanya terfokus pada satu permasalahan yaitu
hanya terfokus pada kebohongan ayahnya dan penyelesaian dari permasahannya itu
juga kurang memuaskan .Novel Hafalan Delisa itu juga membuat pembaca sangat
terharu olehnya,karena semagat hidup dari Delisa,hal itu memotivasi para
pembaca untuk selalu semangat dalam melawan kehidupan dan tak mengenal putus
asa.
Novel Hafalan Shalat Delisa ini mengangkat
cerita mengenai anugerah dibalik keikhlasan.Kita dapat melihat dari keikhlasan
yang dimiliki Delisa ketika menghafal hafalan shalat,ikhlas menerima keadaan
nya setelah tsumani seperti kaki yang teramputasi,dan ikhlas menerima kepergian
Umi Salamah.
Novel ini sangat bagus bagi
pembacanya,karena membuat emosi kita ikut dalam setiap yang dirasakannya.Novel
ini ditulis dengan bahasa yang sederhana namun menyentuh hati
pembaca.Bukti-bukti yang diberikan pada setiap kejadian membuat kisah-kisah ini
seperti nyata.Bagian yang berkesan yaitu ketika pengambilan nilai praktek
shalat Delisa sekaligus pada saat itu terjadinya tsunami (Pada Bab yang
berjudul 26 Desember 2004 itu !),dan ketika penggambaran bagaimana Delisa
terjepit oleh sela-sela semak belukar (halaman 112) karena pada bagian ini
pembaca dapat menggambarkan seperti apa kejadian ketika tsunami itu.Dan
tokoh-tokoh pendukung dari bab itu membuat suasana menjadi hidup.
Tere-liye ingin menyebarkan
pemahaman bahwa HIDUP INI SEDERHANA melalui tulisannya.
Berikut sedikit kutipan dari pojok “biografi” salah satu novelnya, yang sangat berkesan di hati saya (selaku pembaca) :
Berikut sedikit kutipan dari pojok “biografi” salah satu novelnya, yang sangat berkesan di hati saya (selaku pembaca) :
“Bekerja keras, namun selalu merasa
cukup, mencintai berbuat baik dan berbagi, senantiasa bersyukur dan
berterima-kasih maka tereliye percaya, sejatinya kita sudah menggenggam
kebahagiaan hidup ini”
II. Nilai
yang terkandung :
a.
Budaya
Budaya yang
ada di dalam novel ini adalah ketika semua anak Ummi Salamah telah lulus dalam
hafalan membaca shalatnya maka sebagai hadiahnya, Ummi membelikan sebuah kalung
sebagai hadiahnya. Hal ini dibuktikan dalam percakapan berikut :
"Delisa boleh pilih kalungnya
sendiri, kan? Seperti punya Kak Fatimah, punya Kak Zahra atau, seperti punya
Kak Aisyah!" (Hafalan Shalat Delisa, hal.17)
b.
Agama
Dalam novel
ini nilai agama yang terkandung sangat kuat, karena semua anak-anak Ummi
Salamah diwajibkan menghafal bacaannya shalatnya dan diwajibkan untuk shalat
sesuai dengan waktunya. Semua anak Ummi Salamah belajar mengaji di TPA bersama
Ustadz Rahman. Hal ini dibuktikan dalam percakapan berikut :
" Delisa bangun, sayang... Shubuh!" (Hafalan
Shalat Delisa, hal 2)
c. Moral
Di gambarkan nilai-nilai moral yang sangat kental. Kita dapat menganalisi dari keadaan sosial dan kegiatan masyarakat di daerah tersebut. Sangat sopan dan juga sangat mengutamakan nilai-nilai agama dan budaya islam.
Di gambarkan nilai-nilai moral yang sangat kental. Kita dapat menganalisi dari keadaan sosial dan kegiatan masyarakat di daerah tersebut. Sangat sopan dan juga sangat mengutamakan nilai-nilai agama dan budaya islam.
d. Sosial
Banyak sekali nilai sosial yang tertoreh pada novel ini, sebagai contoh kebersamaan seorang ibu yang menyayangi ke-4 anaknya dengan sabar. Walau dalam keluarganya tersebut tidak hadirnya seorang ayah. Namun keluargan tersebut dapat hidup sejahtera dan tentram.
Banyak sekali nilai sosial yang tertoreh pada novel ini, sebagai contoh kebersamaan seorang ibu yang menyayangi ke-4 anaknya dengan sabar. Walau dalam keluarganya tersebut tidak hadirnya seorang ayah. Namun keluargan tersebut dapat hidup sejahtera dan tentram.
Realita
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang tua yang kurang peduli dengan nilai keagamaan anaknya. Kita juga dapat melihat sekitar kita, banyak anak-anak yang kurang peduli dengan kegiatan keagamaannya seperti contoh kurang minat untuk menghafalkan doa-doa sholat dan membaca Al-Quran.
Hafalan Sholat Delisa sangat bagus dan sangat baik untuk di terapkan dalam kehidupan beragama dan berkeluarga.
Penilaian pada novel :
1. Kelebihan
Novel ini sangat bagus untuk dibaca untuk semua
kalangan. Baik anak-anak maupun remaja bahkan orang tua sekalipun. Pesan yang
tersirat dalam novel ini memberikan banyak inspirasi bagi para pembacanya.
Tiap bait puisi dibeberapa kalimatnya menambah poin
plus untuk novel ini. Alur cerita yang sangat menghanyutkan membuat para
pembaca (khususny saya) untuk selalu ikhlas dalam menerima segala cobaan yang
telah ditakdirkan dari Allah swt.
Novel ini juga diangkat ke layar lebar dan ditonton
oleh banyak orang. Saya juga pernah menonton film ini. Ketika membaca novel ini
saya meneteskan air mata karena alur ceritanya yang sangat menyahat hati dan
pada saat menonton film ini, air mata saya pun tetap saja mengalir karena
melihat secara tidak langsung bagaimana kejamnya bencana tsunami yang berhasil
meluluh lantahkan kota Lhok-Ngah yang membuat keluarga kecil Delisa yang begitu
harmonis tewas dalam kejadian tersebut.
Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca!!
Temukan setiap makna yang tersirat
Kelebihan dari film ini adalah film ini mampu menyampaikan pesan-pesan kepada para penontonnya untuk dapat tetap tegar dan semangat walau dalam keadaan yang benar-benar terpuruk dan memprihatinkan. Memberikan pesan untuk mampu bersikap ikhlas dalam menghadapi cobaan.
Novel ini pantas dibaca oleh siapa saja yang ingin belajar mengenai keikhlasan serta kesabaran. Tak hanya orang dewasa, buku inipun cocok untuk anak-anak dan para remaja karena plot yang dibuat penulis merupakan plot cerita dunia kanak-kan
Kelebihan dari film ini adalah film ini mampu menyampaikan pesan-pesan kepada para penontonnya untuk dapat tetap tegar dan semangat walau dalam keadaan yang benar-benar terpuruk dan memprihatinkan. Memberikan pesan untuk mampu bersikap ikhlas dalam menghadapi cobaan.
Novel ini pantas dibaca oleh siapa saja yang ingin belajar mengenai keikhlasan serta kesabaran. Tak hanya orang dewasa, buku inipun cocok untuk anak-anak dan para remaja karena plot yang dibuat penulis merupakan plot cerita dunia kanak-kan
Yang menarik dari novel ini adalah, adanya bait – bait puisi yang
disertakan pada setiap akhir bab cerita,-kadang saat peristiwa-peristiwa
penting- yang seolah – olah menyemangati Delisa serta menggugah hati kita lebih
dalam tentang makna yang terkandung dalam novel tersebut. Ini juga dilengkapi
oleh penggunaan bahasa yang mungkin tidak “sastra” , tetapi “to the point” dan
sederhana, yang membuat pesan lebih tersampaikan ke semua kalangan pembaca.
Seolah – olah , penulis memang mempunyai maksud yang kuat untuk menyampaikan
amanat yang terkandung dalam novel ini, yang mungkin dikarenakan juga oleh
latar belakang penulisan novel ini.
Adapun hal yang menjadi sorotan resensator–kalaupun tidak disebut sebagai kelebihan- adalah sikap Delisa yang tampak sangat dewasa, melihat usianya yang baru 6 tahun. Sikapnya saat menerima berbagai cobaan yang dihadapinya tidak cocok dengan umurnya . Nilai plusnya adalah para pembaca menjadi lebih terharu hatinya karena berkaca pada sikap Delisa dalam menerima cobaan. Selain itu, terkadang pembaca menjadi rancu mengenai latar dan tempat karena perubahan yang tiba – tiba. Tetapi untungnya, jalan cerita yang menghanyutkan membuat kita tidak peduli akan kerancan ini.
Pada akhirnya, dengan segala kandungannya, novel ini wajib dibaca oleh mereka yang sedang merenungi dan mencari makna dan arti hidup yang sebenarnya. Bahkan bagi para remaja juga dianjurkan membaca novel ini, karena akan memperkaya nilai – nilai kehidupan dalam proses pencarian jati diri mereka. Energi untuk ‘hidup’ yang dibawa oleh novel ini sangatlah besar, dan bisa membuka sudut pandang yang baru tentang kehidupan ini. Resensator pun maklum jika nantinya, air mata para pembaca jatuh menetes saat membuka lembaran – lembaran novel ini. Selamat Membaca!
Adapun hal yang menjadi sorotan resensator–kalaupun tidak disebut sebagai kelebihan- adalah sikap Delisa yang tampak sangat dewasa, melihat usianya yang baru 6 tahun. Sikapnya saat menerima berbagai cobaan yang dihadapinya tidak cocok dengan umurnya . Nilai plusnya adalah para pembaca menjadi lebih terharu hatinya karena berkaca pada sikap Delisa dalam menerima cobaan. Selain itu, terkadang pembaca menjadi rancu mengenai latar dan tempat karena perubahan yang tiba – tiba. Tetapi untungnya, jalan cerita yang menghanyutkan membuat kita tidak peduli akan kerancan ini.
Pada akhirnya, dengan segala kandungannya, novel ini wajib dibaca oleh mereka yang sedang merenungi dan mencari makna dan arti hidup yang sebenarnya. Bahkan bagi para remaja juga dianjurkan membaca novel ini, karena akan memperkaya nilai – nilai kehidupan dalam proses pencarian jati diri mereka. Energi untuk ‘hidup’ yang dibawa oleh novel ini sangatlah besar, dan bisa membuka sudut pandang yang baru tentang kehidupan ini. Resensator pun maklum jika nantinya, air mata para pembaca jatuh menetes saat membuka lembaran – lembaran novel ini. Selamat Membaca!
Keunggulan novel ini adalah alur cerita yang sangat menghanyutkan
membuat para pembaca khususnya saya untuk selalu ikhlas dalam menerima segala
cobaan yang telah ditakdirkan dari Allah swt. Novel ini menggunakan bahasa yang
sederhana namun mampu menyentuh hati pembaca. Dalam novel ini penulis
menggunakan sudut pandang ketiga, sehingga saat kita membaca novel ini, kita
seolah menjadi anak kecil dengan pemikiran polos dan keingintahuan yang tinggi.
Saat Delisa mengerti makna keikhlasan, kita juga dapat memahami bagaimana
seorang anak kecil mampu melakukan ibadah hanya karena Allah. Bukan karena
hadiah, imbalan, atau pujian dari orang lain.Dan banyaknya nilai moral yang
telah diajarkan kepada kita seperti keikhlasan, ketaqwaan kepada Tuhan.
2. Kelemahan
Kelemahan dari novel ini
yaitu tidak adanya biografi penulis yang disediakan pada bagian akhir halaman
novel,pengarang menggunakan nama samaran tidak nama asli (Tere-Liye),tidak
adanya sinopsis yang disediakan pada bagian belakang cover,sehingga ketika kita
ingin membelinya kita ragu novel ini menceritakan tentang apa. Bahasa yang
digunakan penulis sederhana namun mampu menyentuh hati pembaca,tidak susah
dipahami.Dimengerti oleh semua kalangan pembaca baik pembaca pemula atau sudah
tingkat lanjut.
0 komentar:
Posting Komentar